Lolos Dari Maut
Karena
dianggap hampir membunuh Baginda maka Abu Nawas mendapat celaka. Dengan
kekuasaan yang absolut Baginda memerintahkan prajurit-prajuritnya langsung
menangkap dan menyeret Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara.
Waktu
itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim tanam kentang akan tiba.
Ketika para prajurit kerajaan tiba, ia sedang mencangkul. Dan tanpa alasan yang
jelas mereka langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Baginda. Abu Nawas
tidak berkutik. Kini ia mendekam di dalam penjara.
Beberapa
hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam. Sedangkan istrinya tidak cukup
kuat untuk melakukan pencangkulan. Abu Nawas tahu bahwa tetangga-tetangganya
tidak akan bersedia membantu istrinya sebab mereka juga sibuk dengan pekerjaan
mereka masing-masing. Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam 'penjara kecuali
mencari jalan keluar.
Seperti
biasa Abu Nawas tidak bisa tidur dan tidak enak makan. la hanya makan sedikit.
Sudah dua hari ia meringkuk di dalam penjara. Wajahnya murung.
Hari
ketiga Abu Nawas memanggil seorang pengawal. "Bisakah aku minta tolong
kepadamu?" kata Abu Nawas membuka pembicaraan.
"Apa
itu?" kata pengawal itu tanpa gairah.
"Aku
ingin pinjam pensil dan selembar kertas. Aku ingin menulis surat untuk istriku.
Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting yang hanya boleh diketahui oleh
istriku saja."
Pengawal
itu berpikir sejenak lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata
pengawal itu merighadap Baginda Raja untuk melapor.
Mendengar
laporan dari pengawal, Baginda segera menyediakan apa yang diminta Abu Nawas.
Dalam hati, Baginda bergumam mungkin kali ini ia bisa mengalahkan Abu Nawas:
Abu
Nawas menulis surat yang berbunyi: "Wahai istriku, janganlah engkau
sekali-kali menggali ladang kita karena aku menyembunyikan harta karun dan
senjata di situ. Dan tolong jangan bercerita kepada siapa pun."
Tentu
saja surat itu dibaca oleh Baginda karena beliau ingin tahu apa sebenarnya
rahasia Abu Nawas. Setelah membaca surat itu Baginda merasa puas dan langsung
memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas. Dengan
peralatan yarig dibutuhkan mereka berangkat dan langsung menggali ladang Abu
Nawas. Istri Abu Nawas merasa heran. Mungkinkah suaminya minta tolong pada
mereka?
Pertanyaan
itu tidak terjawab karena mereka kembali ke istana tanpa pamit. Mereka hanya
menyerahkan surat Abu Nawas kepadanya.
Lima
hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya. Surat itu berbunyi:
"Mungkin suratmu dibaca sebelum diserahkan kepadaku. Karena beberapa
pekerja istana datang ke sini dua hari yang lalu, mereka menggali seluruh
ladang kita. Lalu apa yang harus kukerjakan sekarang?"
Rupanya
istrinya Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya. Tetapi dengan bijaksana
Abu Nawas membalas: "Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa
harus menggali, wahai istriku."
Kali
ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi. Bagi.nda makin
mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih
bisa melakukan pencangkulan.
********
Abu
Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa
menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain.
Baginda
berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk
membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih
buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun
Abu Nawas masih sanggup menyusahkan prang. Keputusan yang dibuat Baginda Raja
untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas
bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan
semakin gawat.
Kini
hidung Abu Nawas sudah bisa menghisap udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas
menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas
juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa
dipetik dalam waktu dekat.
Abu
Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu
Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai
perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung
memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung
menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti
sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan
yang akan diciptakan Baginda Raja. Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya
sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak
membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari
orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang
hartdal daiam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar
Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa
khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa mem-bahayakan kerajaan.
Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap.
Abu
Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini berniat akan menghabisi
riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas
sudah mempersiapkan tameng.
Setelah
beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat
kematian. Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah.
Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa
kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam
hati mengapa Abu Nawas begitu
tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap
mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan
pemancungan.
Beliau
bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi
pedang algojo?"
"Ngeri
Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu Nawas
sambil tersenyum.
"Engkau
merasa gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul
Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda
pun akan mangkat menyusul hamba ke Hang lahat, karena hamba tidak bersalah
sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang.
Baginda
gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu
Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas
diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi
hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di
penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara
bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau
meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar
penuturan penjaga penjara.
*****
Cita-cita
atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa
kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas.
Seorang
penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil
seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti
masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus
dengan pencuri.Dan ulama dengan ulama. Baginda menerima usul yang cemerlang itu
dengan hati bulat.
Setelah
ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara
terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu
kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak
lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang
takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada
seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi
tentang ajal orang lain.
Ulama
andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan
pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas
terjerembab ke lubang siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang
bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan.
Benarlah
peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan
terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan
dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama.
Benarkah
Abu Nawas sudah keok?
Kita
lihat saja nanti.
Banyak
orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan
tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan
pengagum Abu Nawas tak akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan
dijatuhkan.
Baginda
Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kernenangannya. Belum pernah Baginda
terlihat seriang sekarang.
Keyakinan
orang banyak bertambah mantap. Hanya sat orang yang tetap tidak yakin bahwa
hidup Abu Nawas aka berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas. Bukankah Alia
Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin
bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusan-Nya. Semakin
dekat hukuman mati bagi Abu Nawas. Orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu
Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tegar
hatinya.
Baginda
Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian
dari tipu dayanya. Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa
beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya. Sebaliknya Abu Nawas juga
yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan
tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang
menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gawatnya.
Keyakinan
seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika
suasana menjadi hening, sewaktu
Bagin Raja memberi sambutan singkattentang akan dilaksanakan hukuman mati atas
diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda
Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas. Dan pertanyaan inilah yang
paling dinanti-nantikan Abu Nawas.
"Adakah
permintaan yang terakhir"
"Ada
Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan."
kata Baginda.
"Sudilah
kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai
Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah."
kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas..
"Paduka
yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia
dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum
gantung saja." kata
Abu Nawas memohon.
"Engkau
memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih
sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini
tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda sambil tertawa.
"Hamba
tidak bersenda gurau Paduka yang mulia." kata Abu Nawas
bersungguh-sungguh.
Baginda
makin terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas
berteriak dengan nyaring.
"Hamba
minta dihukum pancung!"
Semua
yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat
keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang
lain. Sehingga tawa Baginda yang
semula berderai-derai mendadak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar
ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena
disaksikan oleh ribuan rakyatnya.
Beliau
sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok
untuk dirinya.
Kini
kesempatan Abu Nawas membela diri.
"Baginda
yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau
pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak
kesalahan pilihan hamba sehingga hamba hams dihukum gantung. Padahal hamba
telah memilih hukuman pancung?"
Olah
kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar
biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu
Nawas di negeri Baghdad ini.
"Abu
Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa
banyakkah bintang di
langit?"
"Oh,
gampang sekali Tuanku."
"Iya,
tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan
Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."
"Kau
ini.... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana
pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Ha
ha ha ha ha...! Kau memang penggeli hati.
Kau
adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah
datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang
baru!"
"Siap
Baginda !"
oo000oo
0 Response to "HUMOR SUFI " SIDI ABU NAWAS DALAM CERITA LOLOS DARI MAUT""
Post a Comment