Sumber Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali RA



1.    Sumber Akhlak menurut Al-Ghazali
Al-Ghazali memusatkan usaha untuk membina masyarakat Islam berdasarkan prinsif dan norma-norma akhlak yang kokoh bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulnya serta hadits-hadits shahih dan kisah-kisah orang shalih (Al-Jumbulati, 1994: 156). Pernyataan ini didukung Omar Muhammad al-Toumy (1978: 323) mengatakan bahwa akhlak islam berdasarkan pada syariat islam (al-Qur’an da hadits) yang kekal yang ditunjuk oleh teks-teks agama Islam dan ajaran-ajarannya, begitu juga ijtihad dan amalan ulama shalih dan pengikutnya yang baik;
M. Abduh Quasem (1988: 24) mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Ghazali tentang akhlak diambil dari kitab suci karena al-Ghazali yakin bahwa tidak ada sedikitpun kearguan di dalamnya begitu pula dalam tulisan, bila ia menemukan tulisan para ahli filsafat yang benar yang bersesuaian dengan pandangan, maka ia menrima dan mengambil pendapat tersebut, sebab sebagai seorang ilmuwan tingkat tertinggi ia tentu dapat membedakan yang benar dan yang salah. Secara terinci sumber akhlak menurut al-Ghazali yaitu al-Qur’an, hadits nabi dan ijtihad para ulama. Yaitu sebagi berikut
1)     Al-Qur’an, bagi kaum muslimin adalah sebuah kitab yang memiliki kebenaran mutlak, sebab al-Qur’an turun dari Yang Maha besar. Al-Qur’an dalam kehidupan mempunyai fungsi sebagai Hudan (petunjuk), Bayyin (penjelas), Furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah). Firman Allah dalam surat Al-Baqorah [1] ayat 185, yang artinya; “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah, bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil. Karena itu, barang siapa diantara kamu hadir dinegeri tempat tinggalnya dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. (Hasbi Ashiddiqie, 2003: 45)
Karena itu pembahasan mendalam dan pengkajian yang terinci mengenai konsep pendidikan akhlak menurut al-Ghazali bersumber dari al-Qur’an, hadits, perkataan para sahabat atau tabiin yang menjadi ciri pemikirannya (Zaenuddin, 1991: 22). Bahkan al-Qur’an dan hadits adalah pelajaranh pertama yang dfiterima al-Ghazali dalam setiap latihan spritualnya. Al-Ghazali (2001: 112) mengatakan bahwa pertama-tama aku belajar al-Qur’an dan berhasil menghafalnya ketika usiaku enam tahun.
Uraian di atas menunjukkan bahwa al-Ghazali menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman dan rujukan pertama dan utama dalam pembahasan dan pengkajian mengenai pendidikan akhlak. Ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang fungsinya dalam kehidupan banyak sekali, baik yang bersifat peribadatan ataupun bersifat kemasyarakatan. Ini menunjukkan kelengkapan isi yang dikandung al-Qur’an Allah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 38, yang artinya: “… tiadalah kami alpakan sesuatu di dalam al-kitab (Hasbi Ashshidiqie, 2003: 192). Ayat ini menunjukkan bahwa segala persoalan kehidupan manusia berlandaskan kepada al-Qur’an, meskipun dalam operasionalnya Allah hanya menyatakan hal-hal yang bersifat umum. Sebagimana firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 64, yang artinya: “Dan kami tidak menurunkan kepadamu al-kitab (al-Qur’an) ini melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat kaum yang beriman” (Hasbi Ashshidiqie, 2003: 411).
ayat di atas, baik yang terkandung didalamnya sebagai petunjuk ataupun cahaya, dapat kita transpormasikan ke dalam kehidupan sehari-hri, baik dalam segi ibadah, muamalah maupun masalaha akhlak. Karena itu, tidak berlebihan jika al-Qur’an dijadikan sumber utama dalam melaksanakan akhlak manusi.
Hamzah Ya’kub (1983: 49) mengatakan bahwa sumber moral atau pedoman hidup dalam islam yang menjelaskan criteria baik dan buruknya sesuatu adalah al-Qur’an dan sunnah Rasulullah. Karena al-Qur’an bukanlah hasil renungan manusia, melainkan firman Allah yang maha pandai dan maha bijaksana.
2)     Hadits Nabi
Hadits Nabi adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun pernyataan (taqrir) dan sebagainya (Fathurrohman, 1995: 6), pernyataan ini didukung oleh al-Ghazali (1993: 10) mengungkapkan bahwa Nabi Muhammad di utus menjadi Rasul dengan maksud terutama untuk membina dan menyamakan akhlak. Hal ini terlihat dalam hadits Nabi Muhammad yang diriwayatklan oleh Al-Bazzar, yang artinya “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak (Muhammad).
Tugas Nabi yang digariskan dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpati manusia untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran risalahnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Ghazali (1993: 10) yaitu “Risalah yang diajarkan Nabi memberikan informasi tentang factor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan menjelaskan aspek-aspeknya. Nabi Muhammad selain sebagai Rasul terakhir, juga umat yang dirinya sebagai mu’min sejati yang berada di jalan kebenaran, mesti mengikuti dan taat kepadanya.
Rasulullah sebagai manusia pilihan Allah yang dibebani untuk menyampaikan Risalah-Nya, mempunyai sifat yang Agung karena keagungan akhlak inilah  Rasulullah pantas dikatakan sebgai uwatun hasanah (suri tauladan yang baik) bagi umat Islam sepanjang zaman. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 21, yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Hasbi Ashshiddiqie, 2003: 670).
Menurut Al-Ghazali (1993: 33) ayat di atas merupakan suatu penegasan bahwa Rasulullah adalah contoh yang harus kita ikuti. Dengan mengikuti dan mencontoh jejak dan perilaku Rasulullah kita akan memperoleh keridhoan Allah, karena Allah menjamin kebahagiaan hidup kita di hari kemudian.
3)     Ijtihad para ulama akhlak
Maksud pendapat para ulama akhlak menurut Al-Ghazali adalah mereka yang telah melahirkan teori-teori tentang akhlak. Ijtihad para ulama dijadikan sumber akhlak oleh Al-Ghazali, hal ini dapat difahami dari ungkapannya (2002: 13) yaitu: “bangunan Imam tersebut didasarkan atas empat rukun, yakni: pertama, ma’rifat (mengenal) Dzat Allah. Kedua, mengenal sifat-sifat Allah, ketiga, mengenal perbuatan-perbuatan Allah, keempat, menyangkut persoalan al-samiyat. Mengetahui terhadap yang pertama, menurut Al-Ghazali (2002: 77) hukumnya wajib menurut Al-Qur’an dan sunnah, serta ijtima para imam. Namun ma’rifat tidak akan tercapai tanpa melalui pendidikan akhlak, salah satu ahlak yang baik adalah berkata baik merupakan tauhid dan ma’rifat.
Al-Ghazali memnadang selain al-Qur’an  dan sunnah, ijma para imam pun dijadikan sebagai rujukan dalam mengkaji berbagai persoalan yang menyangkut pendidikan akhlak. Dasar diakuinya pendapat mereka untuk kajian akhlak adalah karena kemampuan adalah mengarahkan, menganalisis, memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah-masalah akhlak yang memberikan teori-teori baru dalam lapangan pendidikan akhlak.




0 Response to "Sumber Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali RA"

Post a Comment