METODE DAKWAH ISLAM DAN PERANAN PENTING KANJENG SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON
DI JAWA BARAT
A. Pendahuluan
Masuknya
agama Islam ke daerah-daerah di Indonesia tidak dalam waktu bersamaan.Pada abad
ke-7 sampai ke-10 kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya sampai ke Malaka
dan Kedah.Hingga sampai akhir abad ke-12 perekonomian Sriwijaya mulai melemah. Keadaan
seperti ini dimanfaatkan Malaka untuk melepaskan diri dari Sriwijaya hingga
beberapa abad kemudian Islam masuk ke berbagai wilayah Nusantara, dan pada abad
ke-11 Islam sudah masuk di pulau Jawa.
Pada abad 15 para saudagar muslim
telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka
memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara. Komunitas ini
dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah Jawa. Masjid
Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam menuntaskan
Islamisasi di seluruh Jawa.Walisongo berasal dari keturunan syeikh ahmad bin
isa muhajir dari hadramaut. Beliau dikenal sebagai tempat pelarian bagi para
keturunan nabi dari arab saudi dan daerah arab lain yang tidak menganut syiah.[1]
Penyebaran agama Islam
di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan
berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan
agama, politik, dan seni budaya.Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas
ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Istilah Wali diartikan
sebagai “orang suci”, sementara istilah “sunan” berasal dari bahasa jawa
“suhun” yang artinya dihormati atau disembah. Dengan demikian, sunan merupakan
gelar kehormatan yang diberikan kepada orang-orang suci atau keramat yaitu para
wali dan juga diberikan kepada para raja Islam di Jawa di samping gelar Sultan.
Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan
lanjutan konsep pantheon dewa Hindhu yang jumlahnya juga Sembilan orang. Adapun
Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan pemerintah
yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan
Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.[2]
Dalam makalah ini akan membahas tentang “peran sunan gunung jati dalam
proses penyebaran islam di Jawa” yang kajiannya mencakup pada biografi,
proses dan cara penyebarannya, dan pengaruhnya.
Biografi Sunan Gunung Jati
Sunan
Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya Wali yang menyebarkan
agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahnya
adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan
Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana
Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal
Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad
Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada
Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan Ibu Sunan Gunung Jati adalah
Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau
Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu
Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal
Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.
Pada masa remajanya Sunan
Gunung jati berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili
di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf.[3]
Padausia
20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu. Setelah
selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk
mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya (Nyi Mas Rarasantang atau Ibunda
Syarifah Mudaim) disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana ( Pangeran Walang Sungsang). Syarif Hidayatullah dan
ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun
1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira
oleh Pangeran Cakra Buana dan keluarganya. Syarifah Mada’in
minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka
membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk
Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif
Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra
Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu
pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya
melalui diplomasi dengan kerajaan lain.Selanjutnya yaitu pada tahun 1479,
karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri
Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang
dijunjung tinggi.
Disebutkan,
pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk
mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam
kembali tapi tidak mau. Mesti Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi
cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian
melanjutkan perjalanan ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam
dikarenakan banyaknya saudaga rdari Arab dan Gujarat yang seringsinggah ketempat
itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten. Bahkan Syarif
Hidayatullah dijodohkan dengan putrid Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten.
Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putra yaitu
Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking.[4]
Pada usia 89 tahun, Sunan
Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu
diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati
wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah
Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari
arah barat.[5]
Proses dan Cara Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati
Dalam
menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja
sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di
Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif
Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan
diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.Pada era Syarif Hidayatullah
atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat dikatakan sebagai era
keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif
Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan
rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah,
pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif
Hidayatullah.[6]
Dengan berdirinya
Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang
biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai
pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri
di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan
yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati
yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi
usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke
Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati. Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti :
Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi
wilayah Kesultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara
Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon.[7]
Sebagai
anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati menerapkan berbagai
metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode dakwahnya
menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut :
1. Metode “maw’izhatul
hasanah wa mujahadalah bilati hiya ahsan”. Dasar metode ini merujuk pada
Al-qur’an surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Seluruh manusia kepada jalan
tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”.
2. Metode “Al-Hikmah”
sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan
yang diselanggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka
pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat
bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang
terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
3. Metode “Tadarruj”atau“Tarbiyatul
Ummah”, dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan
tahap pendidikan umat, agar ajaran islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan
akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan
setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih
tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
4. Metode
pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke berbagai
daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari pengaruh
Islam.
5. Metode
kerjasama, dalam hal ini diadakan
pembagian tugas masing-masing para wali dalam mengislamkan masyarakat tanah
Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan doa mantra untuk
pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan
hutan, transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
6. Metode
musyawarah, para Wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan berbagai
hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan mereka. Semetara dalam pemilihan
wilayah dakwahnya tidaklah sembarangan dengan mempertimbangkan faktor
geogstrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.
Sunan Gunung Jati sendiri
dilingkungan masyarakatnya selain sebagai pendakwah, juga berperan sebagai
politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai budayawan. Pemilihan Cirebon
sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan
hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari
aspek sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi
yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.[8]
Pengaruh Sunan Gunung Jati di Jawa
Sebagaimana disebut di awal pembahasan,
setiap Sunan dalam Wali Songo mempunyai tugas masing-masing. Seperti disebutkan
Sunyoto, tugas tokoh-tokoh Wali Songo dalam mengubah dan menyesuaikan tatanan nilai
dan system social budaya masyarakat, sebagai berikut:
ØSunan Ampel membuat peraturan-peraturan
yang Islami untuk masyarakat Jawa. Raja Pandhita di Gresik
merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda. Susuhunan
Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan, lauk pauk,
memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah. Syarif Hidayatullah di
Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantera, tata cara pengobatan,
serta tata cara membuka hutan. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa,
mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu,
menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan. Sunan Bonang mengajar
ilmi suluk, membuat gamelan, menggubah irama gamelan. Sunan Drajat, mengajarkan
tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang
seperti tandu dan joli. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris,
melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang
hingga system peradilan yang diperuntukkan bagi orang Jawa.[9]
ØMenurut Serat Walisana,
seperti disebut Sunyoto, tokoh Syarif Hidayatullah dikisahkan memiliki kaitan dengan
ajaran sufisme melalui kitab-kitab Syaikh Ibrahim Arki, SyaikhSbti, Syaikh Muhyiddin
Ibn ‘Arabi, Syaikh Abu Yazid Bustomi, Syaikh Rudadi, dan Syaikh Samangun Asarani.
Perkembangan Tarekat Syattariyah dan Akmaliyah, sering pula di nisbatkan pada ajaran-ajaran
Wali Songo, khususnya Syarif Hidayatullah, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syekh Siti Jenar.[10]
Ø Dalam Serat Kanda,
seperti dikutip Muljana, terdapat berita bahwa Sunan Cirebon ikut serta membangun
masjid Demak sebagai salah satu di antara Sembilan wali. Keterlibatan Syarif Hidayatullah dengan kerajaan
Islam di Demak, disebutkan pula dalam NaskahMertasinga. Sekurangnya
terdapat beberapa peristiwa besar di Demak, antara lain rapat Walisongo pernah dipindah
dari Demak ke Cirebon untuk membicarakan banyak hal di Jawa. Bukti kedekatan pengaruh
juga ditunjukkan dengan pola pernikahan putra putrinya. Begitu pula dengan keterlibatannya
dengan kerajaan Islam di Banten. Menurut sumberlain, Syarif Hidayatullah juga ikut
dalam perjuangan Islam di Jayakarta melalui utusannya Fatahillah.[11]
Kesimpulan
Sebagai sosok historis,
intelektual dan muballigyang lebih memilih dakwah syiar Islam bagi
masyarakatnya, daripada sebagai penguasa formal birokratis di kesultanan
Cirebon, Syarif Hidayatullah telah menanamkan suatu peradaban moral dan
teologis bagi muslim Indonesia terutama di Cirebon. Karena itu, bukti
kejayaannya dapat ditemukan melalui bangunan tajug atau masjid dengan keragaman
seni dan filosofinya. Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Masjid Merah Panjunan,
barangkali diantara bukti peradaban muslim klasik Indonesia dari Syarif
Hidayatullah selama kurun 1479-1568 di Cirebon.
Pengaruh
Syarif Hidayatullah terhadap perkembangan Islam di Jawa sangat besar sekali. Adanya
kerajaan Islam di Demak dan Banten merupakan beberapa contohnya. Tak kalah
pentingnya lagi kontribusi Syarif Hidayatullah pada perkembangan Islam di Jawa
Barat dengan cara dakwah dengan damai, mulai dari Kuningan, Indramayu,
Majalengka, Cianjur, Garut, Ciamis, Sumedang, bahkan Jayakarta (Betawi).
0 Response to "METODE DAKWAH ISLAM DAN PERANAN PENTING KANJENG SUNAN GUNUNG DJATI CIREBON DI JAWA BARAT"
Post a Comment