KH. MAMAN IMANUL HAQ DAN MA NURUSSYAHID KERTAJATI DALAM MUNAJAT RAJAB 2...



Bersama Abah Tercinta: 
Kiai Dimiyati Rais 

Oleh KH. Maman Imanul Haq
Anggota DPR RI, Pengasuh PP. Al-Mizan Jatiwangi

Sabtu 11 November 2017 adalah hari penuh berkah. 

Setelah ziarah di Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Raden Fattah dan Kiai Sholeh Darat,  pukul 19. 05 bersilaturahmi di Kaliwungu Kendal.

Kami bahagia bertemu sosok yang dalam beberapa kesempatan, Gus Dur menyebutnya, “ Kang Maman. Ada dua orang yg sering membuat saya rindu untuk bertemu: Kiai Dimiyati Rais dan Kiai Abdurrahman Chudhori”.

Di teras depan rumah Abah Dim, demikian kami memanggilnya, Saya menyaksikan para santri dan masyarakat berseliweran. 

Inilah salah satu kekhasan “Kiai Pesantren”: yaitu hadir di tengah masyarakat dan santri yang mencintainya.

Setelah Putera Abah Dim, Gus Alamuddin, Sahabat sesama di DPR RI, meminta saya masuk ke rumah, saya langsung mencium tangan Guru Mulia ini. Kulekatkan tatapan ke wajah Abah yang bercahaya. 

“ Abah, saya haturkan silaturahmi. Mohon doa tuk saya, istri, anak cucu dan para Santri. Saya juga mohon amalan  agar istiqomah”, saya mencoba memecah kesunyian. Karena agak lama Abah hanya tersenyum tanpa berkata apapun.

Alih-alih menjawab, Abah terlihat memberi isyarat pada santrinya untuk mengganti
aqua gelas dengan minuman botol. 

Setelah datang aqua botol Abah menyuruh menyiapkan gelas. Dan dengan tangannya sendiri, dua kaleng kueh dibukakan tuk dihidangkan pada kami.

Subhanallah. Memuliakan tamu (Ikrom adh-dhuyuf) memang menjadi akhlak mulia para Guru Pesantren. 

Tapi hati saya mulai gelisah. 

Dalam pikiranku berkecamuk mungkin karena dosaku Abah Dim tidak mau menjawab permohonanku. Atau karena nafsu dunyawiku, Abah cukup memberiku air minum dan kueh. Bukan nasehat dan doa.

Astagfirullah al-adzim min kulli dzambin adzim. Ya Allah.

Sedikit memaksa, saya bilang, 

“ Abah, mohon doanya, kami mendirikan pesantren Al-Mizan tahun 1999. Tantangannya banyak. Dari yang menuduh kami ahli bid’ah hingga masyarakat yg masih “ngagem” ilmu Siliwangi”.

Abah langsung menatapku tajam. 

Beliau menjawab, “ kenapa dengan Siliwangi?. Sebelum Wali Songo, penyebaran Islam telah berlangsung. Kian Santang dan Larasati dididik Syeikh Qurra. Dan melahirkan Syeikh Syarif Hidayatullah. Bahkan Patih Gajah Mada pun masuk Islam. Wali Songo mengorganisir Dakwah Islam hingga lebih meluas dan syiarnya menyentuh khalayak ramai. Pengenalan, penyebaran dan penguatan jadi pola dakwah saat itu”. 

Abah Dim meneruskan pembicaraan.

“ Sekarang banyak pesantren berdiri dan santrinya banyak. Lebih banyak secara kuantitas. Tapi Kiai yang alim dan alamah sangat sedikit”, Mbah Dim menarik nafas dalam. Berat.

Dulu Perjuangan Para Wali diteruskan para Ulama yang alim alamah. Yang mendakwahkan Islam dengan dasar keilmuan dan akhlak yang bisa menjawab persoalan di tengah kehidupan masyarakat.

Ada satu generasi emas yang berhasil menguatkan kehidupan yang Islami. 

Yaitu masa  Kiai Sholeh Darat, Kiai Sholeh Tuban, Kiai Sholeh Gresik, Kiai Anwar Batang, Kiai Abdul Karim Kaliwungu, kiai Cholil Bangkalan, Kiai Nawawi Banten dll,  yang disamping penguasaan keilmuannya luas, mereka sering bertemu berkomunikasi untuk mencari solusi persoalan masyarakat. 

Mereka adalah para Guru Besar yang melahirkan sosok-sosok besar seperti Hadratus Syaikh Kiai Hasyim Asyari,  Soekarno, Kartini dll. 

Pertemuan Alas Roban

Ada hal menarik, seperti saat pertemuan di Alas Roban, di tempat Kyai Anwar. 

“ Dulu kyai-kyai bertemu di Hutan. Sekarang di Hotel”, sindir Mbah Dim

Kyai Cholil Bangkalan melakukan silaturahmi dari Madura ke arah barat sedangkan kyai Nawawi Banten sedang melakukan silaturahmi ke arah timur, maka keduanya bertemu di Alas Roban.

Dari pagi hingga pukul 15.15 Mereka berdiskusi. Tiba-tiba Kiai Nawawi berdiri dan keluar sambil memberi isyarat kepada Kiai Cholil Bangkalan untuk mengikutinya.

“ Pegang tangan saya, kita sholat di Masjidil Haram”,  kata Kiai Nawawi Banten. Dan seketika keduanya telah ada di Mekah.

Perbedaan waktu 4 jam yang memungkinkan keduanya datang pukul 11.15 dan sempat nunggu dhuhur berjamaah. 

“ Kita masih ada waktu untuk itikaf dan baca Quran sambil nunggu waktu Dhuhur. Setelah berjamaah kita langsung Jama’ dg Asar. Kita harus kembali ke Alas Roban”, jelas tokoh ulama Jawa di Mekah ini.

Kedua ulama besar itu dianugerahi karomah karena ilmu dan keistiqomahannya.

Di Pemakaman Ma’la di Mekah ada 3 makam yang masih utuh jasad isi makam tersebut saat ada pembenahan komplek pemakaman. Yaitu makam Syeikh Mahfudz At-tirmisy, Syeikh Nawawi dan satunya Ulama dari Sumatara.

“Nah, sanad keilmuan ulama kita itu terjamin. Seperti Hadits yang diajarkan Kiai
Hasyim di Tebuireng itu dari Syeikh Mahfudz”, tegas Abah Dim.

Di samping hubungan keilmuan yang erat dan pertemuan yang intensif, para Ulama kita dipererat oleh hubungan yang bersifat personal dan juga hal lain seperti pernikahan. 

(Saya ingat kisah-kisah unik tentang Kiai, pesantren dan sanad keilmuan dari Almarhum Abah tercinta: kiai Amin Gedongan)

“ Kiai Nawawi Banten itu sebelum kembali ke Mekah lagi pernah mukim sebentar di Banten. Menikah. Nah mantan istrinya ada yang dinikahi oleh Kiai Asnawi Kudus”,  tambah Abah.

Kiai Sholeh Darat

Abah Dim punya cerita menarik tentang Kiai Sholeh Darat Semarang. Saat diminta kartini menerjemahkan Quran ke dalam bahasa Jawa Biasa , Kiai Sholeh menolak. Cukup dengan Jawa Pegon agar Belanda tidak mengerti. 

Kiai Sholeh punya mantu Kiai Idris Jamsaren Solo. Kiai Idris punya anak Abu Amar. Orang-orang itu Alim Alamah. Putera Abu Amar Yaitu Ali Darakah, orang Muhamadiyah.

(Saya kurang bisa menangkap nama-nama yang disebut Abah. Mohon koreksi bila saya salah. Yang saya tangkap Kyai Sholeh Darat agak terlupakan karena salah satu cucunya Muhamadiyah yang tidak suka ziarah dan ga boleh ada Haol)

Abah Dim kembali lama terdiam . Saya sempat mau memohon kembali soal amalan agar istiqomah, tapi tiba-tiba Beliau meneruskan cerita alas robban, “

Nah, Kang Maman. Kiai-kiai yang kumpul di Alas Roban itu iatiqomah membaca ‘assabiyyat, tujuh ayat utama ‘, saat menunggu Kiai Cholil dan Kiai Nawawi Mereka terus membaca ayat-ayat itu. Padahal Belanda mengepung hutan tersebut. Saat itu yang dibaca Al-Ikhlas. Jadi yang terdengar Belanda adalah Huu...huuu...huuu”.

Pukul 20. 30 Kami pamit karena harus mengisi pengajian di Pondok Tahfidul Quran yang dipimpin Kiai Ali Shodiqun al Hafidz, yang disebut Gus Alam sebagai Kiai Ali Suwuk. 

Alhamdulillah, Saya kembali bertemu dengan Abah Dim, Nyai dan Para Puteranya. Hadir juga Keluarga Kiai Adib Hasan Noor. Inilah kekhsaan lain Kiai Pesantren. Saling berkunjung dan menguatkan pesantren-pesantren baru yg dirintis Kiai-kiai Muda.

Usai doa, di hadapan Kiai-Kiai muda, Abah kembali mengingat bahwa, “ hari ini pesantren lebih banyak dari masa lalu. Tapi Ulama yang Alim dan Alamah sangat sedikit”. 

Pukul 12. 45 Abah Cerita Kiai Abul Fadhol bin Abdul Syakur, berasal dari Senori Tuban (Jawa Timur).  

“ Kiai Fadhol itu alamah. Tapi sangat tawadhu’, sederhana dalam penampilan, dan rendah hati. Saat takziah di pemakaman Kiai Zubaer, tidak satupun yang mengenal Kiai Fadhol yang berpakain sederhana dan kopiah yang sudah agak menguning. Baru setelah Kiai Maemun cium tangan dan menyambut hangat, orang-orang baru tau ini toch Ulama Besar dari Senori itu”.

Subhanallah.

Terima Kasih Abah Dim. Kami santri Abah mendapat Kisah-kisah penuh berkah dari Abah. Semoga tetap sehat dan sabar membimbing kami agar istiqomah memperjuangkan Islam Ahlussunah Wal Jamaah ala NU. 

Al-Fatihah.

#CaritaKangMaman

0 Response to "KH. MAMAN IMANUL HAQ DAN MA NURUSSYAHID KERTAJATI DALAM MUNAJAT RAJAB 2..."

Post a Comment