MENGENAL LEBIH DEKAT MANAQIB SYEIKH IBNU 'ARABI, RA

  

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN TASAWUF  IBNU ‘ARABI

A.       Biogafi Ibnu ‘Arabi

1.              1. Riwayat Hidup

Ibnu ‘Arabi nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Abu Bakar Ibnu Ali Muhyiddin al-Hatimi al-tha’I al Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah Muhamad Bin Ali Ahmad Bin Abdullah. sedangkan nama Abu Bakar Abnu Ali Muhyidin atau al-Hatimi hanyalah nama gelar baginya, selanjutnya, ia populer dengan nama Ibnu ‘Arabi dan ada yang menulisnya Ibnu al-Arabi. Muhammad Ibn ‘Ali Muhammad Ibnu ‘Arabi At-Tai Al-Hatimi, lahir di Murcia Spanyol bagian Utara lahir pada tanggal 27 Ramadhan 560 H (17 Agustus 1165 M) pada pemerintahan Muhammad Ibn Said Ibn’ Mardanisy. Ibnu ‘Arabi berasal dari keturunan Arab berasal dari keluarga yang soleh. ayahnya, menteri utama Ibn’ Mardanisy, jelas seorang tokoh terkenal dan berpengaruh di bidang politik dan pendidikan, keluarganya juga sangat religius, karena ketiga pamannya menjadi pengikut jalan sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al Syaikh al-Akbar (doktor maximus) karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang mistik. 

2.        Pendidikan

Pada usia delapan tahun yaitu tahun 568 H / 1172 M Ibnu ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat menuju kota Lisabon. Di kota ini ia menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yang berupa membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari gurunya, Syekh Abu Bakr Ibnu Khallaf.3 Kemudian ia pindah kekota Sevilla yang waktu itu merupakan pusat para sufi Spanyol, ia tinggal dan menetap disana selama 30 tahun.

Di kota di Sevilla inilah Pendidikan Ibnu ‘Arabi dimulai ketika ayahnya menjabat di istana dengan pelajaran yang umum pada saat itu al-Qur’an dan Hadits, Fiqh, Theologi, dan Filsafat Skolastik, Ilmu Kalam. keberhasilan pendidikan dan kecerdasan otaknya juga kedudukan ayahnya mengantarkanya sebagai sekretaris Gubenur sevilla diusia belasan. Yang perlu dicatat bahwa kota Sevilla pada saat itu selain sebagi kota ilmu pengetahuan juga merupakan kegiatan Tasawuf dengan banyak guru sufi terkenal yang tinggal disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya mempercepat pembentukan Ibnu ‘Arabi sebagai tokoh sufi yang terpelajar, apalagi ia telah masuk Thariqat diusia yang masih 20 tahun.

Selama menetap di Sevilla Ibnu ‘Arabi muda sering melakukan kunjungan berbagai kota di Spanyol, untuk berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun sarjana terkemuka. salah satu kunjungan yang paling mengesankan adalah ketika bertemu Ibn Rusyd (1126-1198 M) dimana saat itu Ibnu ‘Arabi mengalahkan tokoh filosuf peripatetik ini dalam perdebatan dan tukar pikiran, sesuatu yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya wawasan spiritual sufi muda ini. juga menunjukan adanya  hubungan yang kuat antara Mistisisme dan filsafat dalam

kesadaran metafisis Ibnu ‘Arabi. Pengalaman pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan didukung oleh pemikiran filosofisnya yang ketat, Ibnu ‘Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosuf paripatetik, sehingga bisa memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu pandangan Dunia Metafisis yang maha besar sebagaimana dilihat dari gagasan-gagasannya.

Di kota Sevilla inilah Ibnu ‘Arabi Pendidikannya berhasil karena dia kemudian memperoleh pekerjaan menjadi seorang sekretaris gubenur Sevilla. Dan setelah itu Ia menikahi seorang gadis dari keluarga baik-baik benama Maryam. secara beruntung istri barunya ini juga mengenal baik sejumplah Manusia yang Soleh dan jelas sama-sama mempunyai keinginan seperti suaminya untuk menempuh jalan Sufi. 

Ibnu ‘Arabi disamping terus belajar ia adalah seorang yang sangat haus akan ilmu. ia tidak merasa puas dengan ulama’ yang ada di daerahnya. oleh sebab itu, dalam rangka memperluas ilmu pengetahuanya, tatkala menginjak usia 30 tahun ia mulai melakukan pengembaraan ke berbagai negeri Islam, selain Andalusia ia juga ke Maroko dan Aljazair. Tahun 598H/1202M Ibnu ‘Arabi tiba di Mesir bersama murid dan pembantunya, Abdullah al-Habasyi. di negeri ini ia tidak tinggal lama. kemudian dari Mesir ia terus berkelana ke Timur, mengunjungi al-Quds dan Mekkah al- Mukarramah di mana ia juga mengajar untuk waktu tertentu. Selain Hijaz yang dikunjunginya dua kali, ia juga ke Aleppo dan asia kecil. di setiap tempat yang di kunjungi, ia selalu menerima penghargaan besar dan diberi banyak hadiah yang kemudian selalu di berikanya kepada para fakir miskin.

Ibnu’ Arabi selama proses spiritualnya, Dia mengkaji banyak pelajaran tentang hakekat Mistik, diantaranya adalah doktrin-doktrin metafisis kaum sufi, Kosmologi, penafsiran esoterik, dan barang kali ilmu pengetahuan yang lebih ghoib bersifat astrologi dan al-kimia. Tentu banyak bukti yang berkaitan dengan materi-materi semacam ini ditemukan dalam karya-karyanya. Selain sisi jalan mistik yang lebih teoritis, Ibnu ‘Arabi dan murid-muridnya tidak diragukan, didorong oleh para gurunya untuk menguatkan dan mempraktekkan pelbagai ritus dan metode tarikat. Ini meliputi do’a, sholat, puasa, tahajud, iktikaf malam, pengasingan diri, dan meditasi. Pembelajaran semacam ini sering mengantarkan pada pengalaman diluar panca indra, banyak di klaim Ibnu ‘Arabi telah dialaminya dalam kehidupannya. Untuk mendorong semacam ini. Ibnu ‘Arabi ketika masih muda di Sevilla sering menghabiskan waktu berjam-jam di kuburan untuk bercakap-cakapan dengan arwah orang yang sudah meninggal.

Ibnu ‘Arabi banyak berbicara tentang ajaran Al-Qur’an dan Al-Hadist secara rinci berbagai peristiwa dalam kehidupan Nabi, peran Syari’at prinsip-prinsip hukum Islam, nama-nama dan sifat Tuhan, hubungan antara Tuhan dengan alam semesta, tata kosmos, takdir yang harus diterima oleh Manusia, berbagai golongan Manusia, jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kesempurnaan, tahap-tahap pendakian menuju Tuhan, berbagai tingkatan serta golongan Malaikat, hakekat Jin, ruang dan waktu, peran intuisi-intuisi politis, simbolisme tulisan, kehidupan di alam barzah (antara alam kubur dan hari kebangkitan), status ontologis Surga dan Neraka dan sebagainya.

Perjalanan spiritual Ibnu ‘Arabi yang luar biasa ditandai oleh berbagai isyarat tidak kurang dari kenyataan bahwa dia mencapai pembukaaan ketika masih berusia muda dalam waktu dua jam. Muridnya Syam Al-Din Ismail Ibn Saudakin Al-Nuri (wafat 646 H/1248 M) mengutip peryataanya sebagai berikut: aku mulai menarik diri pada saat cahaya pertama (fajr) dan mencapai pembukaan sebelum matahari terbit. setelah itu aku memasuki cahaya purnama dan maqam-maqam lain satu-persatu aku tidak beranjak ditempatku selama 40 bulan selama itu aku banyak mengalami misteri yang kemudian setelah pembukaan kutuangkan dalam bentuk tulisan. Pembukaan begitu berkesan bagiku pada saat itu.

Ibnu Arabi meninggal dengan tenang di Damaskus pada tanggal 28 Rabi’ulakhir 638 H. (16 November 1240) pada usia 78 tahun dikelilingi oleh keluarga, para sahabat, dan murid-murid sufinya. Ia dimakamkan di Utara Damaskus dipinggiran kota Salihiyah, di kaki Gunung Qasiyun. Garis kehidupannya berakhir selaras dengan berakhirnya norma imanennya, karena tempat dimana Ibnu ‘Arabi. dikubur dimana jasadnya beristirahat bersama dua putranya, menjadi tempat ziarah yang dalam pandangan kaum Muslim telah disucikan oleh semua Nabi, dan terutama oleh Nabi Khidr. Pada abad ke 16 Salim II Sultan Kontantinopel membangun suatu Mausoleum dan Madrasah diatas makam Ibnu ‘Arabi. Ibnu ‘Arabi waktu hidup sezaman dengan para sufi besar lainnya seperti Suhrowardi, Najmuddin ar Razi, Muslihuddin, Sa’di, Abu al-Hasan al-maghrib as- Syadzili, Jalaluddin Rumi dan Ibnu Faridh, dan dari pemikiran Ibnu ‘Arabi banyak mempengaruhi para filsuf dan sufi lainnya.


3.        Karya-Karya Ibnu Arabi

Ibnu ‘Arabi adalah penulis yang produktif, menurut Browne ada 500 judul karya tulis dan 90 judul diantaranya asli tulisan tangannya diperpustakaan negara Mesir.12 karya Ibnu ‘Arabi sangat beragam mulai dari artikel pendek yang hanya berupa tulisan beberapa halaman, hingga buku tebal yang berjilid-jilid, seperti, al-futuhal makkiyyah yang di anggap oleh pusat pengetahuan sebagai referensi utama kajian Tasawuf Islam, yang terdiri dari 37 bagian dan setiap bagian terdiri dari 300 halaman. Demikian juga dengan Al Tafsir Al- Kabir yang tidak kurang dari 64 jilid. Ada satu ciri khas dalam diri Ibnu ‘Arabi yang membedakan dengan penulis buku ke-Islaman lainnya. Hal tersebut karena tema yang di usung Ibnu ‘Arabi hanya satu: Tasawuf dan ilmu relung hati (ilm al-asrar) walaupun Ibnu ‘Arabi melakukan eksplorasi terhadap berbagai disiplin ilmu ke-Islaman lainnya, semua dilakukan untuk memfungsikan dan mengarahkan demi sebuah tujuan awal yaitu Tasawuf.

Meski Ibnu ‘Arabi dikenal sebagai seorang yang banyak beribadah dan melakukan pengembaraan keberbagai negeri Islam semasa hayatnya, namun ia berhasil mengabadikan kehebatanya dengan mewariskan karya-karya nya bagi umat Manusia dalam jumplah yang luar biasa banyak-nya. Maka dari itu pengamat menggelarinya ia sebagai seorang penulis yang produktif diperkirakan karyanya sekitar 500 buku, sebagaimana di sebutkan Abdurrahman al-Jami dalam bukunya Nafahat al-Yawaqit wal-Jawahir (batu dan permata)

Pemikiran Ibnu ‘Arabi sangat istimewa hingga mampu menarik perhatian para pemikir Arab Persia dan kawasan Islam lainnya mereka tertarik untuk meneliti istilah- istilah sastra nya secara lebih mendalam. Karya Ibnu ‘Arabi hingga mencapai 500 buku dan artikel pendek konon ada yang mengatakan bahwa karyanya lebih dari 1000 buku dan artikel, Ustman Bin Yahya dan ahlinya mengumpulkan judul-judul itu dalam satu buku tersendiri dan meringkas dan menyajikan sebagiannya sebagai berikut:

1.  Al-Kibrit Al-Ahmar

2.  Al-Isra Ila Maqom Al-Isra

3.  Futuhat Al-Makkyyah

4.  Fushush Al-Hikam

5.  Asrar Umm Al Qur’an

6.  Asrar Al-Qulub

7.  Asrar Al-Wahy Fi Al-Mi’roj

8.  Kitab Adab.

9.  Al-Isyarat Ila Syarh Al-Asma Wa Al-Shifat

10.      Al-Alaq Fimakarim Al- Akhlaq

11.       Al-Insan Al-Khamil Fi Ma’rifah Al-Alam Al-Alawi Wa Al-Safali

12.       Al- Anwar Al-Qudsiyah Fi Bayan Qawaid Al-Shufiyyah

13.      Suluk Thariq Al-Haqq

14.      Tahqiq Al-Mahabbah

15.      Tahqia Madzabib Al-Shufiyyah Wa Taqrir Qawlihin Fiwujud Al-Wajib Li Dzatih Wa Tahqiq Asma’ih

16.      Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Alalisan Al- Shufiyyah

17.      Tawhid Al-Qulb

18.      Al Jahwah Fima’rifah Al-Khawah

19.      Al-Haq Al- Makhluq

20.      Al-Asma Al-Illahiyyah

21.      Al-Asma Al-Husna

22.      Al-Jala Fi Kasyf Al- Wana

23.      Al-Haqiqah Al-Illahiyyah

24.      Al-Intishar

25.      Al-Hukm Wa Al-Syara’I

26.      Ard Al Haqiqah

27.      Tartib Al Rihlah

28.      Al Tawajjuhat Al-Ilahiyyah.

29.      Tawhid Al-Tawhid 

30  Al Nu’ut Al Illahiyyah

31  Al-Dzakha Ir Wa Al-I’lan Fi Syarh Turjumah Al Asywaq


Dan masih banyak kitab yang lainnya karya Ibnu ‘Arabi yang tidak di tulis dalam skripsi ini. Namun diantaranya sekian banyak karya nya, teryata dua buah karya Ibnu ‘Arabi yang terkenal dan menggambarkan corak ajaran Tasawuf yakni Futuhat Al- Makkiyah (penyingkapan ruhani di Mekkah) dan Fusus Al-Hikam (permata-permata

hikmah). Yang keduanya sangat terkenal. Kitab Futuhat Al Makkiyah adalah salah satu bukunya yang di tulis pada akhir-akhir masa hidupnya yang ditulisnya di Mekkah mulai tahun 598 H. sampai 635M, diakui sendiri oleh Ibnu ‘Arabi sebagai curahan ilmu yang didektikan oleh Tuhan melalui malaikat Jibril pembawa wahyu. Yang diyakininya sebagai ilmu ilham (ilmu batin) atau ilmu hadirat dari al-Qur’an. Sedangkan kitab Fusus Al-Hikam yang di tulisnya sejak 598H. serta di selesaikan pada tahun 628 H yang terdiri dari 27 bab tentang kenabian, diakuinya sebagai ilham dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Yang isinya menjelaskan hubungan setiap Nabi dengan asal dan sumber ilmunya yang tak lain adalah Insan kamil atau al-haqiqah al- muhammadiyah.

B.       Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi

Ibnu ‘Arabi adalah seorang pemikir filsuf yang paling penting dan berpengaruh dalam sejarah pemikiran Islam serta tokoh sufi pada abad 13. filsafat mistiknya, yang disebut wahdatul wujud (kesatuan wujud), dan insan kamil (Manusia sempurna) sangat mendominasi pemikiran tokoh berikutnya di Dunia Muslim seperti Hamzah Fansuri yang mempunyai pemikiran sama tentang wahdatul wujud, begitu juga dengan muridnya al-Jilli yang melanjutkan pemikiran nya tentang insan kamil, maka dari itu kita perlu menguraikan kontribusi pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang wahdatul wujud, insan kamil, dan juga tajalli, konsep cinta, serta beberapa tingkatan maqam untuk mencapai derajat ma’rifat.

1.        Pemikiran Tentang Wahdatul Wujud

Dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ‘Arabi menuturkan bahwa Allah adalah “wujud mutlak“ yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan


oleh sesuatu apa pun. di halaman lain dari kitab futuhat dia menulis “ pertama-tama yang harus diketahui bahwa Allah SWT adalah zat yang awal, yang tidak ada sesuatu pun mendahului-Nya tidak ada sesuatupun yang awal bersama-Nya, Dia ada dengan sendiri-Nya, tidak membutuhkan sesuatu selain Dia. Dia adalah Tuhan yang maha Esa, yang tidak berhajat pada alam semesta.

 

Ibnu ‘Arabi dikenal dengan pembawa ajaran wahdat al-wujud (kesatuan wujud ) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis. 

Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya bayang- bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh alam ini tidak) yang menyatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu yaitu hanya ada satu wujud yang sejati, yakni Allah SWT (al-Haqq). Sedang alam ini tidak lain adalah sekedar dari manifestasi (tajalliat) dari wujud yang sejati tersebut yang pada dirinya (alam) tidak memilki wujud sejati tau mutlak seperti Tuhan. Hubungan wujud sejati (Tuhan) dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumplah cermin. Ibnu ‘Arabi pernah berkata wajah itu satu tetapi cermin seribu, sehingga wajah yang sejati itu terpantul dalam ribuan cermin, dan karena kaulitas dan posisi cermin berbeda antara satu cermin dengan cermin yang lain, maka pantulan wajah sama dan satu itu pun tampak berbeda-beda. itulah sebabnya. maka sekalipun Tuhan itu esa tetapi pantulannya (yaitu alam semesta) beraneka dan berjenis jenis. 20

Inti ajaran Tasawuf wahdatul wujud diterangkan Ibnu Arabi dengan menekankan pengertian kesatuan keberadaan hakikat (unity of existence). Maksudnya, seluruh yang ada, walaupun tampaknya, sebenarnya tidak ada dan keberadaannya bergantung pada Tuhan Sang Pencipta. Yang tampak hanya bayang- bayang dari Yang Satu (Tuhan). Seandainya Tuhan, yang merupakan sumber bayang-bayang, tidak ada, yang lain pun tidak ada karena seluruh a lam ini tidak memiliki wujud. Yang sebenarnya memiliki wujud hanya Tuhan. Dengan kata lain, yang ada hanya satu" wujud, yaitu wujud Tuhan, sedangkan yang lainnya hanya merupakan bayang-bayang.21

Ibnu ‘Arabi menggambarkan bentuk tajalli dengan simbol wajah dengan cermin, diibaratkan semisal kita ingin melihat wajah kita, kita tidak dapat melihatnya kecuali dalam cermin, yang nantinya kelihatan dalam cermin kelihatan gamblang dan jelas, tetapi kita tahu bahwa satu-satunya wajah yang riel adalah yang ada pada diri kita, bukan yang terpantul dalam cermin. Karena yang ada dalam cermin hanyalah sebuah bayangan.

Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa wujud menjadi nyata oleh karena Tuhan sebagai yang zhahir memperlihatkan dirinya dalam suatu “wadah manifestasi” yakni di dalam kosmos itu sendiri. Tuhan tidak dapat memperlihatkan dirinya sebagai yang batin, karena menurut definisi, Tuhan sebagai yang batin tidak dapat dijangkau dan diketahui di dalam kosmos ini.

Setiap makhluk merupakan wadah manifestasi bagi wujud demikian juga masing-masing adalah bentuk (shurah) dari wujud. tidak ada kosmos dapat memiliki wujud selain berasal dari al-Haqq, sebuah hadits berbunyi “Bahwa Tuhan menciptakan Adam menurut bentuknya sendiri. Ibnu ‘Arabi menunjukkan banyak sekali fakta bahwa hadits menggunakan nama Tuhan-(Allah) yakni nama yang komprehensif yang menjadi rujukan semua nama selain Tuhan. oleh karena itu Manusia diciptakan lengkap dengan kemampuan potensialnya untuk menampilkan Tuhan sebagai Tuhan, yakni Tuhan yang di namai seluruh nama-nya, sementara makhluk lainnya di dalam kosmos hanya mampu menyuguhkan nama Tuhan tertentu saja dan terbatas.

Bagi Ibnu ‘Arabi alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, Tuhan dan alam semesta tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi- kontradiksi ontologis. kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. hal ini tampak seperti dalam uraian al-Qur’an bahwa Tuhan adalah yang tersembunyi (al Bathin) sekaligus yang tampak (al-Dzahir), yang esa (al-Wahid) sekaligus yang banyak (al-Katsir), yang terdaulu (al-Qadim) sekaligus yang baru (al-Hadits) yang ada (al-Wujud) sekaligus yang tiada (al-Adam). Dalam pandangan Ibnu ‘Arabi realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda: sifat keTuhanan sekaligus sifat kemakhlukkan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen eksistensi sekaligus non eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.

Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud Khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khalik dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiyah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibnu ‘Arabi sebagai berikut:

Maha suci Tuhan yang lelah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”25

Menurut Ibnu ‘Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut Khalik dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan antara abid (penyembah) dengan ma 'bud (yang disembah). Bahkan antara yang penyembah dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam. Ibnu ‘Arabi mengemukakan nya Kalau antara Khalik dan makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibnu ‘Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu. tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khalik dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu, atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikat keduanya, yakni Dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah

Paham wahdatul wujud timbul dari filsafat bahwa Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Kemudian diciptakanlah alam sebagai cermin yang merefleksikan gambaran diri-Nya. Setiap kali ingin melihat diri-Nya, Dia melihat alam karena pada setiap benda alam terdapat aspek al-Haqq. Jadi, walaupun segala benda ini kelihatannya banyak, sebenarnya yang ada hanya satu wujud, yaitu al-Haqq.

Untuk menjelaskan ontologis Tuhan dan alam semesta, Ibnu ‘Arabi menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. simbol ini pertama. untuk menjelaskan sebab penciptaan alam yakni bahwa penciptaan alam ini

adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah harta simpanan (kanz nahfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai hadits Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua untuk menjelaskan hubungan yang satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. yakni Tuhan yang bercermin adalah satu tetapi gambar-nya banyak dan beragam. Dan apa yang tampak dalam cermin adalah dia, sama sekali bukan selainya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.

Penggambaran tersebut sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybih dan tanzih, imanen dan transenden yang digunakan Ibnu ‘Arabi dari segi tasybih Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualisasi sifat- sifatnya. dari segi tanzih Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas Ibnu ‘Arabi menyatakan huwa la huwa (Dia bukan Dia-yang kita bayangkan) sedekat dekat Manusia menyatu dengan Tuhan, tetapi tidak akan pernah menyatu dengan Tuhan, ia hanya menyatu dengan asma dan sifat-sifatnya menyatu dengan bayangan-Nya bukan dengan zat-Nya. Ibnu ‘Arabi membuat keterkaitan yang sangat jelas manifestasi sempurna wujud dalam peran Manusia di dalam kosmos. dengan doktrinya yang terkenal ”manusia sempurna” yakni manusia yang mampu mengaktualisasikan semua potensialitas batinnya sesuai sifat dan asma Tuhan secara lengkap dan total. Di satu pihak dalam Manusia sempurna yang sangat berbeda dengan makluk lain. manusia yang mampu mewujudkan kausalitas yang terpuji. Insan kamil ini menjadi teladan bagi kebijaksanaan, kasih sayang dan segala kebaikan moral serta spiritual manusia. Mereka membibing individu dan masyarakat ke tingkatan tertinggi yakni Tuhan, dan insan kamil bertindak mencerminkan tindakan al-Haqq, dan mengarahkan kepada kebahagiaan tertinggi di alam akhirat, dalam manifastasi manuisawinya Ia seperti Nabi dan para auliya’.

Manusia sempurna adalah tujuan Tuhan dalam menciptakan kosmos tatkala disadari melalui insan kamil lah. Dia dapat menampakkan sifat-sifat-Nya secara total, hanya di dalam diri insan kamil saja terbentang kesempatan bagi wujud untuk menggapai kesempurnaan, tidak ada makhluk selain Manusia yang memiliki kesiapan yang dibutuhkan dalam menampilkan sifat Tuhan. jika wujud di dalam esensinya yang tidak tampak, maka ia sepenuhnya bukan fenomenalnya, hanya di dalam diri manusia sempurna (insan kamil) yang sanggup menampilkan setiap nama Tuhan dalam keselarasan dan keseimbangan secara sempurna.

2.        Pemikiran Tentang Insan Kamil

Manusia adalah makhluk kecil bila dilihat dari segi fisiologisnya, betapa tidak, Bumi yang kita pijak ini saja tak akan nampak dari ujung Galaksi Bumi apalagi dilihat dari Galaksi lain justru karena kecilnya ukuran Bumi ini, apalah kita manusia yang ia barat semut yang merayap dipermukaan bola raksasa Bumi. manusia ibarat sebuah titik kecil yang berlangsung hanya sedetik. Itulah kakekat manusia juka dilihat dari sudut ruang dan waktu, Maka seharusnya kita menyadari betapa tidak berartinya kita (manusia) dalam kosmos yang luas ini jika dilihat dari fisiologisnya.

Namun manusia yang bisa disebut sebagai mikrokosmos karena pada diri manusia mengandung seluruh unsur kosmik, dari mulai tingkat mineral sampai tingkat manusia, bahkan menurut beberapa tokoh, manusia juga mengandung unsur-unsur rohani, karena manusia juga memilki roh yang berasal dari Tuhan. Maka apabila masing-masing tingkat wujud tersebut memantulkan sifat-sifat tertentu dari Tuhan, dan Manusia sebagai cermin yang sempurna yang mampu berpotensi memantulkan seluruh sifat-sifat Illahi. disitulah manusia disebut insan kamil, jika manusia dapat mengaktualkan seluruh potensinya yang ada dalam dirinya dan mampu mencerminkan sifat sifat Tuhan.32

Insan kamil (manusia sempurna) adalah istilah yang digunakan oleh kaum sufi untuk menamakan seorang Muslim yang telah sampai pada keperingkat tinggi, yaitu peringkat seorang yang telah sampai pada fana’ fillah (sirna di dalam Allah). Manusia menurut Ibnu ‘Arabi adalah tempat tajalli (penampakan) diri Tuhan yang paling sempurna, karena Dia adalah al-kaun al-jamil, atau manusia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin pada alam besar (makrokosmos), dan tergambar kepadanya sifat-sifat keTuhanan. Oleh karena itulah manusia di angkat sebagai kholifah. pada diri manusia terhimpun rupa Tuhan dan rupa alam, dimana subtansi Tuhan dengan segala sifat dan asma-Nya tampak padanya. dia dalam sebuah cermin yang menyingkapkan wujud Allah SWT .

Secara umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai manusia sempurna. menurut Al-Jilli insan kamil adalah Roh Nabi Muhammad SAW. yang mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, lalu para wali dan orang-orang saleh, sebagai cermin Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya dan refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Al-Jilli melihat bahwa insan kamil (manusia sempurna) merupakan nuskhah atau kopi Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maha rahman." Hadis lain menyebutkan (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya."

Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jilli dekat dengan konsep hulul Al- Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat Lahut dan Nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibnu 'Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW. Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang memopuler-kan konsep insan kamil-nya, sesungguhnya konsep insan kamil ini sudah disinggung sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu 'Arabi, insan kamil adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan Illahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insan kamil adalah miniatur dari kenyataan.

Dan yang di maksud insan kamil menurut Ibnu ‘Arabi seperti yang di jelaskan dalam kitabnya fusus al-hikam adalah:

-Ain Al-Haqq, artinya manusia adalah perwujudan dalam bentuknya sendiri dengan segala keesaanya berbeda dengan segala sesuatu yang lain, meskipun al-Haqq (Tuhan) ain segala sesuatu, tetapi segala sesuatu itu bukan ain (zat)-nya karena ia hanya perwujudan sebagian asma-Nya, bukan Tuhan bertajalli (menampakkan diri) pada sesuatu itu dalam bentuk zat-nya. Dan apabila kamu berkata insan maka maksudnya adalah manusia sempurna dalam kemanusiaanya, yaitu Tuhan bertajalli (menampakkan) diri dalam bentuk sifat dan asmanya sendiri itulah yang di sebut dengan ain-Nya- al-insan al-kamil (Manusia sempurna) dalam pandangan Ibnu ‘Arabi tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan paham adanya Nur Muhammad seperti ditegaskan: ketahuilah bukanlah yang dimaksudkan dengan al-insan kamil kecuali Nur Muhammad, yaitu roh Illahi yang dia tiupkan kepada Adam. oleh karenaitu Adam adalah esensi kehidupan dan awal kejadian manusia. katakanlah Nabi Muhammad SAW adalah insan kamil yang paling sempurna. (Alhaqiqah al Muhammadiyah.)dan dengn hakekat Muhammad inilah orang bisa mencapai derajat insan kamil.

3.        Pemikirannya tentang Tajalli

menurut Ibnu ‘Arabi wujud yang mutlak adalah wujud Allah tapi wujud dzat yang mutlak belum belum bisa disebut sebagai Tuhan karena untuk mengetahui dzat yang azali dan qodim sebagai Tuhan hanya setelah ada wujud yang lain yaitu makhluk agar dzat yang mutlak dapat diketahui dan dikenali maka dzat yang mutlak bertajalli, menampakkan dirinya melalui makluknya.dengan bertajjali tidak mempengaruhi kemutlakkannya. Menurut konsepsi ini wujud mutlak bertajjali melalui tahapan martabat.

1.      Martabat ahadiyyah yaitu dzat dalam keadaan mutlak tunggal (ahad) atau kesatuan mutlak yang disebut martabat dzatiyah dalam citranya yang demikian. Dzat tidak bernama dan tidak ada atribut. Maka menurut Ibnu ‘Arabi dzat yang mutlak sebagai substansi merasa perlu untuk memanifastasi ke dalam sifat atau atribut agar dapat diketahui dan dikenalidalam gambaran yang demikian maka ahadiah belum bisa di sebut tuhan karena dia berada di luar bukti. Dia sendiri adalah bukti bagi eksistensi diri-Nya sendiri yang dimanifestasikan dalam a’yan dari wujud wujud kontingen. Bagaimana dibuktikan eksistensi dirinya sebagai tuhan. Karena yang ada cuma dia, tidak ada eksistensi apapun selain dia. Bahkan tidak ada istilah ada di mana keberadaan semua yang ada yakni satu dzat yang tunggal. 

2.      Martabat wahdah juga di sebut martabat tajjali dzat atau faydh aqdas yakni ketika dzat yang tunggal bertajalli melalui sifat dan asma. Keadaan ini terjadi mana kala dzat yang mengada pada dirinya sendiri, dan dari dirinya sendiri (wujud lidzatihi) yang berupa gagasan (qada dan iradah) tentang segala sesuatu yang muncul di dunia kini dan nanti semacam protetif ideal yang disebut a’yan sabit. Protetif realitas segala sesuatu yang tersembunyi (mahiyah). Dalm sistem metafisika Ibnu ‘Arabi a’yan sabit terletak di tengah-tengah antara realitas absolut (al-haqq) dan dunia fenomena (al-khalq). A’yan adalah ada yang pertama melalui tajjali sehingga ia menyebutnya sebagai al-mafatih al-awal atau mafatih al-ghoib penamaan ini di hubungkan dengan surat al-an’am 59 selanjutnya Ibnu ‘Arabi menyatakan, bahwa sifat dan asam bukan dzat tetapi tidak di luar dzat yang pada posisi lain ia adalah hakekat alam empiris.38

3.      Martabat wahidiyah yaitu ketika dzat yang menentukan sendiri eksitensialitas dalam obyek-obyek berkenaan dengan protetif idealnya, yakni a’yan sabit pada dirinya tidak muncul di dunia atau keluar meninggalkan pengetahuan dari pikiran dzat dan tetap ada seperti sebelumnya, dalam keadaan substansi subut, yang apabila di bandingkan dengan keperiadaan adalah ke-ada-an yang relatif tiada (ma’dum) ketiadaan.

4.      Martabat ta’ayaun ruhi dan 

5. Ta’ayun jasadi, yaitu tajalli penentuan rohaniah yang juga di sebut ta’ayun mistali, dan penetuan ragawi yang sudah eksitensial dan tertentu sebagai kebalikan dari penentuan ideal yang tiada terbatas. Dua martabat terakhir ini oleh Ahmad Daudi disatukan dalam satu tahapan yang di sebut tajalli syuhudi yakni tuhan bertajalli melalui asma dan sifatnya dalam keadaan empiris. Kalau tadi protetif ideal itu hanya wujud mutlak yang tunggal. Maka dalam tahap ini menjadi aktual dalam citra alam empiris.

Dengan demikian dapat di pahami bahwa alam yang menampakkan fenomena empiris adalah mazdar atau wadah tajalli Tuhan dalam berbagai wujud dan sebagai bentuk kontingensi

Menurut Ibnu ‘Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, la juga memberikan sifat-sif'at ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma- Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk zat yang tinggal dalam ke- mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapa pun. Dalam fushus al-hikam ia menjelaskan: Wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak. Dan untuk memperkuat pendapatnya itu ia merujuk sebuah hadits” Aku pada mulanya adalah pembedaharaan yang tersembunyi,

kemudian Aku ingin di kenal, maka Ku ciptakan makhluk. Lalu dengan itulah mereka mengenal Aku.

Ibnu ‘Arabi memandang hanya ada satu realitas tunggal di alam fenomena ini yakni Allah. adapun alam fenomena yang serba ganda ini hanyalah sebagai wadah tajali-nya. Hubungan antara yang riel dengan yang fenomena disisni merupakan hubungan antara yang potensial dan yang aktual, dimana peralihan antara yang pertama dan berikutnya itu terjadi diluar patokan ruang dan waktu, karena tajalinya Tuhan itu terjadi sebagai proses abadi yang tiada henti-hentinya.

Dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi bahwa sebab terjadinya tajalli Allah pada alam ialah karena Dia ingin di kenal dan ingin melihat citra diri-Nya. Untuk itu ia memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada alam. dengan demikian, alam fenomena ini merupakan perwujudan dari nama dan sifat-sifat Allah. Tanpa adanya alam ini, nama-nama dan sifat-sifat itu akan kehilangan makna dan akan senantiasa berada dalam bentuk potensialitasnya pada zat Tuhan. Demikian pula zat mutlak itu sendiri akan tetap di dalam kesendiriannya tanpa dapat dikenal oleh siapapun. Disinilah letak urgensi wujud alam sebagai wadah tajalli Illahi, yang padanya Tuhan melihat citra diri-Nya dalam wujud yang terbatas.41

Akan tetapi alam empiris yang serba ganda ini berada dalam wujud yang terpecah pecah, sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara sempurna dan utuh, bagian-bagian alam ini merupakan wadah tajalli dari bagian tertentu pada nama- nama dan sifat-sifat Tuhan. jadi alam ini masih merupakan bentuk tanpa ruh, atau laksana cermin buram, yang belum dapat memantulkan gambaran Tuhan secara

sempurna atau paripurna. Tuhan baru dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna dan

utuh pada Adam (Manusia) sebagai cermin yang terang atau sebagai ruh dalam jasad. Akan tetapi tidak semua (manusia) termasuk dalam kategori ini. Yang dimaksud dengan manusia disisni adalah insan kamil, yang pada dirinya tercermin nama-nama dan sifat- sifat Tuhan secara sempurna. Dan manusia sempurna dijadikan Tuhan ruh alam, segenap alam ini tunduk kepadanya karena kesempurnaan insan kamil tersebut.

4.        Pemikirannya tentang Cinta

Timbulnya doktrin estetikal tentang Tuhan bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga antara manusia dengan Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Tuhan sebagai zat yang maha Agung dan Mulia, juga zat yang maha Cantik Indah dan sumber dari segala keindahan, sesuai dengan salah satu sifat dasar manusia yang menyukai keindahan dan kecantikan, maka hasrat mencintai Tuhan adalah manusiawi, karena Tuhan adalah puncak dari segala keindahan. Konsep teologi estetikal ini dikaitkan dengan Robiah al-Adawiah melalui doktrin hubb dan mahabbah mencintai Tuhan dengan berbuat apa saja untuknya, adalah motifasi kasih sufi, dalam jiwanya tidak ada rasa takut akan siksa (Neraka), tidak ada hasrat untuk menikmati Surga, yang ada hanyalah keinginan untuk memperoleh cinta dan keindahan dzat Tuhan yang abadi.

Orang sufi mengabdikan diri kepada zat Tuhan adalah karena cinta dan harapan sambutan cinta dari-Nya. Doktrin ini kemudian berlanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta bermotif cinta kasih Tuhan. penciptaan alam semesta adalah peryataan kasih Tuhan yang di refleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazdhohir dari asma Allah.43

Ibnu ‘Arabi menyatakan kesempurnaan ma’rifatilah dengan melalui tujuh obyek pengetahuan yaitu 1. Mengetahui asma Illahi 2. Mengetahui tajalli Illahi 3. Mengetahui ta’lif Tuhan terhadap hamba-nya 4. Mengetahui kesempurnaan dan kekurangan wuju dalam semesta 5. Mengetahui diri sendiri 6. Mengetahui alam akhirat

7. Mengetahui sebab dan obat penyakit batin. Bila seorang sufi mengetahui tujuh obyek tersebut sampailah sufi pada tahap ma’rifat yang sempurna.

Ma’rifat meninbulkan Mahabbah (cinta). cinta merupakan puncak dari maqamad yang ditempuh oleh sufi disini bertemu kehendak Tuhan dan kehendak insan. Kehendak Tuhan adalah kerin duan-nya untuk bertajali pada alam, sedangkan kehendak insan ialah kembali kepada esensinya yang sebenarnya, yakni wujud mutlak. Ibnu ’Arabi dalam konsepnya tentang cinta, memandang bahwa cinta adalah sebab dari penciptaan alam, karena atas dasar cintalah Tuhan bertajali pada alam. Demikian pula cinta, cinta juga menjadi sebab kembalinya semua menifestasi kepada esensinya yang semula dan hakiki, karena atas dorongan rasa cinta mereka ingin kembali kepada asalnya, jadi cinta itu bersifat unifersal, ia melandasi kehendak yang pencipta dan kehendak makhuk.44

Lebih jauh Ibnu ’Arabi membagi cinta atas tiga bentuk: cinta kudus (al-hubbal- illahi), cinta spiritual (al-hubbal-ruhani), dan cinta alami (al-hubb al-thabi’i). cinta kudus ialah cinta esensial dan abadi dari yang maha Esa, yang merupakan sumber dari segala cinta. cinta ini berasal dari Allah terhadap diri-nya sendiri di dalam ke-mujarrad- an-nya, di luar batas ruang dan waktu. Kemudian atas dasar itu Ia rindu untuk melihat citra dirinya dan rindu agar dapat dikenal, maka diciptalakan-nya alam semesta. Jadi

adanya alam yang serba ganda ini adalah tidak lain sebagai akibat cinta kudus itu. akan tetapi, kata Ibnu ‘Arabi justru cinta kudus yang primordial itu pula yang telah melahirkan cinta pada Insan, yang bermula ketika (esensi potensial) mereka mendengar kata ciptaan kun di dalam asma. Karena itu kata afifi faktor yang mendasari semua menifestasi realitas tunggal adalah cinta kudus. bahkan cinta kudus itulah yang menjadi prinsip primordial dalam tiap yang terajadi pada alam.

Adapun cinta spiritual adalah rasa cinta terhadap yang dicintai (mahbud) disebabkan oleh yang dicintai dan diri si pencipta (muhib) sendiri. Akan tetapi, karena yang dicintai itu (pada kakekatnya) adalah realitas dari segala segala realitas yang ada maka cinta dari si pencinta tidak lain adalah bagian dari cinta kudus yang akan kembali menemukan jati dirinya. jadi secara esensi-nya, cinta dari si pencinta itu adalah cinta kudus. Hanya dari segi lahir ia kelihatan sebagai milik si pencinta. inilah bentuk dari cinta sufi.

Cinta alami adalah cinta yang di dasarkan atas kehendak kepuasan diri sendiri. kalau cinta pada spiritual “diri’ pencinta berkorban demi yang dicintainya, maka pada cinta alami, justru yang dicintai itu menjadi korban yang dicinta. didalam cinta alami ini termasuk pula yang di sebut oleh Ibnu ‘Arabi dengan cinta elemental hanya perbedaanya, cinta alami tidak terikat dengan yang bersifat material sedangkan cinta elemental tidak bisa terlepas dari unsur-unsur material.

Sekalipun cinta spiritual dan cinta alam ia merupakan dua bentuk cinta yang mendominasi Manusia, secara esensial keduanya tidak lain adalah serpihan dari cinta Illahi. cinta alami merupakan yang terendah dan cinta spiritual berada diatasnya.

Dengan demikian pada hakehatnya cinta itu adalah satu dan mencapai puncaknya pada

insan kamil yang pada dirinya bertemu yang asal.

Dari maqam cinta muncul rasa syawq (rindu) Yakni perasan ingin bertemu dengan yang di cintai. perasan demikian baru mereda dan berubah menjdi kegembiraan ketika yang dicintai telah dapat ditemukan, perasaan yang sedang dimabuk cinta, rindu pada pada yang dicintainya yakni Allah terus menerus sehingga pada suatu waktu ia tenggelam dalam (fana) kepada yang dirinduinya itu. si situlah puncak cinta sorang sufi

Jadi menurut Ibnu ‘Arabi tepat bila dibedakan ada tiga macam cinta yang merupakan tiga cara mewujud 1. cinta Illahiah, yang pada satusisi adalah cinta Khalik kepada makhluk dimana Dia menciptakan diri-Nya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan dirinya, dan disisi lain cinta makhluk kepada khaliknya, yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk kembali kepada dia, setelah Dia merindukan sebagai Tuhan yang tersenbunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog adba diantara pasangan Illahi Manusia 2.Cinta spiritual terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangannya dia cari di dalam dirinya, atau yang didapati olehnya bahwa bayangan (citra image) itu adalah dia sendiri; inilah dalam diri makhluk, cinta yang tidak memperdulikan, mengarah, menghendaki apapun selain cukup sang kekasih, agar terpenuhi apa yang dia kehendaki. 3.cinta alami yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih “dan sayangnya ” kata Ibnu ‘Arabi, seperti inilah kebanyakan orang memahami cinta masa kini.

 

5.        Pemikirannya tentang Maqom untuk mencapai Ma’rifat

Maqam adalah tingkat-tingkat kerohanian jama’nya dari maqamat. dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu seoarang sufi akan mengalami berbagai keadaan batin. Di dalam Futuhat Al-Makkiyah Ibnu ’Arabi menyebutkan enam puluh maqam yang di tempuh seorang sufi untuk bermujahadah kepada Allah, dan ia berusaha menjelasakan akan tetapi Ibnu ’Arabi tidak menulisnya secara sistematis tahap- tahap tiap maqam yang harus di lalui seorang sufi. Dalam menempuh maqamat itu seoarang sufi harus senantiaa melakukan bermacam-macam ibadah (mujahadah) dan kontemplasi yang sesuai dengan ajaran agama sehingga tiap maqam satu persatu dapat dilaluinya

Maqam pertama yang harus ditempuh oleh sufi adalah tawbah (tobat) setelah itu menempuh beberapa jalan yang lain yaitu mujahadah (kesungguhan), khalwat (bersunyi diri), uzlah (menghindar dari mayarakat), taqwa (melaksanakan aturan syariah, baik yang fardu maupun yang sunnah), wara’ (mengekang dan menahan diri), zuhd (zuhud), sahr (bangun malam ), Khawf (takut pada Allah), raja’ (mengharap ) huzn (sedih), ju’ (lapar), tark-al-syahawat (menahan keinginan), khusu’ (khusuk), mukhalafah al-nafs (menentang keinginan), tark al-hasad wa il-ghadalah wa I-ghibah (menghindar dari dengki marah dan memfitnah), tawakkal (tawakal), syukr (syukur), yaqin (yakin), shabr (sabar), muraqabah (sadar terhadap pengawasan Allah), ridla (rela), ubudiyah (pengabdian), istiqomah (teguh pandirian), ikhlas (iklas), shidq (jujur), haya (malu), huraiyyah (kemerdekaan), zhikr, wa fikr, wa tafakkur (zikir, fikir, dan tafakur), futuwah (murah hati disertai kesetiaan), firasah (firasat), khulq (beraklak), ghirah (cemburu), walayah (kewalian), nubuwah (kenabian), risalah (kerasulan) qurbah (kedekatan), faqr  (kefakiran), tashawwuf (tasawuf), tahqiq (mengenal kebenaran), hikmah (bijaksana), sa’adah (bahagia), adab (adab), shubbah (persahabatan), tawhid safar (perjalanan) husnal-khatimah (akhir hayat yang baik), ma’rifah (ma’rifat pengenalan hakiki), mahabbah (cinta), syawq(rindu), ihtiramal-syuyukh, (memuliakan para pembimbing rohani) sama’ (mendengar) karamah (keramat), mu’jizat (mukjizat), dan ruya’ (mimpi).

C.       Latar Belakang Pemikiran Tasawuf Ibnu ‘Arabi

Ibnu Arabi tokoh filosuf dan sufi pada abad 12, di dalam pemikirannya tentang tasawuf lewat pengalaman mistisnya ia menjelaskan dengan pemahaman rasional atau filsafat, maka tasawuf Ibnu ‘Arabi dinamakan tasawuf falsafi. Adapun sumber-sumber yang mempengaruhi pemikirannya dari hasil yang telah diteliti terbagi menjadi dua kelompok besar yakni:

1.     Sumber Islam

-        Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi

-        Sufi-sufi terdaulu seperti Al Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami, Junayd, Shibli, Tustari, Abdul Qodir al-Jailani, dan lainnya

-        Asetik-asetik Muslim Theologia Skolastik: Ash’ari dan Mu’tazilah

-        Carmathian dan Isma’ilian (terutama ikhwanus-safa)

-        Aristotelian dan Neoplatonik Persia, terutama Ibn Sina dan Ibn’ Rusyh

-        Aliran Ishraqi

2.     Sumber non Islam

-        Filsafat helleinistik, terutama neoplatonik dan filsafat pilo dan stocs tentang logos 

Ibnu ’Arabi selalu mencari dari al-Qur an dan Hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan perkataan-perkataannya. prosedur umumnya digambarkan oleh Nicholson, Ibnu ‘Arabi seringkali mengambil suatu ayat Qur’an dan Hadits, Ibnu ‘Arabi dapat memperoleh segala yang diinginkan dari al-Qur’an. ia dapat juga menghasilkan kesimpulan yang sama dengan yang diambilnya apabila diadopsilkan menjadi metode interpretasi yang sama.

Dia memahami beberapa ayat secara harfiah yang maknanya cocok dengan Pantheisme, dan tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an banyak berisi tentang ayat-ayat itu. Tuhan dari Qur’an digambarkannya sebagai suatu Tuhan yang mutlak Transenden yang tidak ada bandingannya. dipihak lain sebagimana layaknya orang mendengar, melihat punya tangan kaki dan wajah dia adalah cahaya dari Langit dan Bumi, Dia bersama kita dimanapun kita berada, Dia lebih dekat dari pada urat nadi kita sendiri. 

Dari sekian banyak sufi yang telah memberi inspirasi pada Ibnu ‘Arabi nampaknya al-Hallaj adalah yang terbesar Ibnu ‘Arabi hafal ucapan-ucapan mistikal dari al-Hallaj dan bahkan ia telah menulis sebuah tafsir tentang istilah-istilah al-Hallaj yang berjudul As-Siraj Al Wahhaj Fi Sharh Kalamil Hallaj. Ia juga banyak menyebut al-Hallaj dalam beberapa tempat di dalam kitab futuhatnya, mengutip beberapa tulisannya, mendukung serta menafsirkan istilah-istilah itu menurut konsepsi Pantheistiknya

      Beberapa doktrin penting yang terinspirasikan dari pemikiran al-Hallaj,

seperti

1.      Tentang masalah yang Esa dan yang banyak yang merupakan betuk modifikasi dari doktrin al-Hallaj tentang Lahut dan Nasut atau tul wa ard

2.      Tentang doktrin logos dan pra eksistensi Muhammad huwa-huwanya al-Hallaj dan Manusia sempurna Ibnu ‘Arabi

3.      Tentang teori cinta kudus

4.      Tentang tidak dapat diketahuinya Tuhan

5.      Tentang Dunia fenomena sebagai tabir dari yang riel

6.        Tentang intreprestasi esoterik dari al-Qur’an

Al-Hallaj mengatakan bunuhlah dirimu itu berarti meninggalkan semua selain Tuhan sehingga non eksistensi harus kembali pada non eksistensi dan yang riel saja yang tetap bertahan atau abadi interpretasi Ibnu ‘Arabi sama dengan Hallaj, hanya ia lebih bercorak pantheistik. 

Pada sisi formal dari doktrinnya Ibnu ‘Arabi nampak sangat jelas dipengaruhi oleh dialektika Theologis-theologis Muslim yang telah sangat dikenal olehnya teori tentang yang satu dan yang banyak nampaknya di dalam salah satu aspek dari teori itu merupakan aplikasi dari doktrin Ash’ari tentang substansi dan kejadian-kejadian (accident). pandangan terhadap atribut-atribut Tuhan identik dengan yang dianut oleh kaum Mu’tazilah. Dalam masalah qadar (kehendak bebas) dia lebih sependapat dengan Ash’ari yang mengatakan bahwa Manusia mampu berbuat tapi sebenarnya tidak melakukannya sendiri.

 

   Makam Ibnu Arabi di Damaskus, Suriah. - (DOK WIKIPEDIA)

SUMBER LAIN :

Tawbah menjadi momen bagi Ibnu ‘Arabi untuk meninggalkan berbagai kesibukan duniawi. Sejak berusia 20 tahun, dia berfokus pada jalan sufi. Mula-mula, alim yang lahir pada 17 Ramadhan 560 H (28 Juli 1165 M) itu berkelana ke pelbagai daerah di Andalusia (Spanyol) dan Afrika Utara.

Dari rihlah itu, pemilik nama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin ‘Arabi al-Tha’i al-Hatimi tersebut memperoleh banyak guru dan sahabat.

Muhammad al-Fayyadl dalam Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2012) memaparkan, sufi bergelar Syekh al-Akbar itu berinteraksi dengan banyak ulama, cendekiawan, serta salik dari banyak latar belakang dan mazhab. Itulah yang semakin mengayakan wawasan dan pengalaman religiusnya. Terhadap sesama salik, dirinya pun lebih menunjukkan hubungan yang bersifat persahabatan, bukannya hierarkis formal.

Kira-kira delapan tahun sejak mengalami tawbah, Ibnu ‘Arabi untuk pertama kalinya bepergian ke luar Andalusia. Begitu menyeberangi Selat Jabal Thariq (Gibraltar), langkah kakinya menuju ke Tunis. Di sana, ia belajar Khal al-Na’layn karangan Ibnu Qashi, seorang mursyid sekaligis pemberontak anti-Dinasti al-Murabithun.

Dalam ulasannya atas kitab tersebut, dia mengungkapkan kekaguman sekaligus kekecewaan terhadap sang pemimpin tarekat itu, yang dinilainya telah menjadi pendusta. Itu dikaitkannya dengan klaim Ibnu Qashi sendiri yang pernah mengaku Imam Mahdi, juru selamat Andalusia dari rongrongan Reconquista.

Ibnu ‘Arabi juga mempelajari Kitab al-Hikmah karya Ibnu Barrajan atas anjuran seorang guru sufi setempat, Abdul Aziz al-Mahdawi. Darinya pula, lelaki asal Mursia itu belajar banyak hal, terutama mengenai filsafat dan tasawuf. Abdul Aziz juga tergolong sufi yang aktif berjuang melawan rezim al-Murabithun. Sebab, dinasti tersebut dianggap zalim dan menyesatkan umat.

Dari Tunis, perjalanan Ibnu ‘Arabi berlanjut ke Fez, Maroko. Kota itu merupakan salah satu pusat tasawuf di Afrika Utara. Menurut al-Fayyadl, di sana sang sufi mengalami sejumlah momen spiritual. Hingga akhirnya, salik tersebut berhasil mencapai kedudukan (maqam) yang tinggi. Ia disebut-sebut telah memperoleh karamah, semisal mampu mengetahui situasi sosial-politik Andalusia tanpa perlu menyaksikan dengan mata kepala.

Ada banyak sufi yang menjadi teladannya di Fez. Dua orang di antaranya ialah Abu Abdullah al-Daqqaq dan Ibnu Hirzihim. Sejak masih di Andalusia, Ibnu ‘Arabi telah mengetahui sosok keduanya yang memang masyhur sebagai ahli tasawuf dengan banyak murid. Barulah ketika di Maroko, ia bisa menjumpai mereka dan mengenal lebih dekat ajaran-ajarannya.

Empat tahun lamanya Ibnu ‘Arabi bermukim di Fez. Dalam masa itu, ia berguru pula kepada seorang ahli hadis yang juga sufi: Muhammad bin Qasim bin Abdurrahman al-Fasi. Darinya, ia mendapatkan jubah khusus (khirqah) sebagai tanda pengakuan atas derajat kesufian.

Bagaimanapun, penulis kitab Futuhat Makiyyah dan Fushush al-Hikam itu sebelumnya sudah memperoleh khirqah, yakni khirqah khadiriyyah dari gurunya, Abu al-Abbas al-‘Uryabi. Disebut demikian karena penerimanya diyakini mewarisi derajat spiritual Nabi Khidir AS.

Ibnu 'Arabi disebut-sebut telah memperoleh karamah, semisal mampu mengetahui situasi sosial-politik Andalusia tanpa perlu menyaksikan dengan mata kepala.

Di antara sahabat-sahabatnya dari Fez ialah dua orang salik, Abu Abdullah al-Mahdawi dan Ibnu Takhmist. Dalam sebuah catatannya, ia mengenang mereka. Keduanya disebut biasa melakukan tindakan-tindakan aneh, semisal melanggar syariat di depan orang, hanya untuk menyamarkan identitas sebagai sufi.

Sebelum melanjutkan rihlah, Ibnu ‘Arabi menyempatkan diri pulang ke Andalusia. Tujuannya berpamitan dengan guru-gurunya di sana. Seorang di antara mereka ialah Abu Madyan, yang tidak lain guru pertamanya dalam bidang tasawuf. Sebelum mengarungi Selat Gibraltar, dia masih sempat menyelesaikan tulisannya, yang lalu menjadi kitab Mawaqi al-Nujum.

Begitu mendarat di Afrika, ia langsung meneruskan perjalanan ke arah timur bersama dengan sahabatnya, Badr al-Habasyi. Kota yang disinggahinya kemudian adalah Marrakech. Di sana, dia bersahabat dengan seorang sufi dengan maqam kesabaran yang tinggi, Muhammad al-Marrakusyi.

Dari Marrakech, langkah kakinya tertambat lagi di Fez. Lantaran sebuah mimpi, dia merasa terpanggil untuk berjumpa dengan sahabat lamanya, Muhammad al-Hashshar. Ketiganya—Ibnu ‘Arabi, al-Habasyi, dan al-Hashshar—berjalan kaki hingga ke Tlemcen dan Bejaia (Aljazair).

Dari sana, perjalanan berlanjut ke Tunis. Di kota tersebut, Ibnu ‘Arabi bermukim sekitar sembilan bulan, untuk kemudian menuju Makkah al-Mukarramah pada 1201 M.

Untuk sampai ke Baitullah, tokoh berjulukan al-Muhyiddin (sang penghidup agama) itu melalui rute yang cukup panjang. Salah satu kota yang disambanginya ialah Kairo, bertepatan dengan adanya wabah kelaparan.

Salah satu kota yang disambanginya ialah Kairo, bertepatan dengan adanya wabah kelaparan.

Epidemi itu mengakibatkan banyaknya korban jiwa, termasuk Muhammad al-Khayyath bin Abu Abbas al-Hariri. (Mantan) guru Alquran tatkala Ibnu ‘Arabi masih anak-anak itu lebih dahulu wafat sebelum bisa menemaninya ke Tanah Suci.

Sesungguhnya, ada lintasan langsung antara Kairo dan Makkah, tetapi dia memilih jalan memutar. Ibnu ‘Arabi mampir terlebih dahulu di Hebron, antara lain, untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim. Sesudah itu, ia mengunjungi dan shalat di Masjid al-Aqsha. Baru setelahnya, langkah kakinya berlanjut ke Madinah dan Makkah, bertepatan dengan musim haji tahun 598 H (1202 M).

Bagi kalangan tasawuf, jelas al-Fayyadl, pemilihan rute tersebut menandakan panggilan spiritual yang hendak dipenuhi Ibnu ‘Arabi. Dalam arti, sang sufi ingin menziarahi kuburan-kuburan para nabi yang telah dijumpainya dalam mimpi. Mimpi itu pun dimaknai sebagai rihlah mi’raj, yakni persinggahan dari satu langit ke langit lainnya.

Pada langit ketujuh, yang terletak paling atas, dia “bertemu” dengan Nabi Ibrahim. Itulah mengapa, ziarah Ibnu ‘Arabi ke Hebron sebelum ibadah haji secara simbolis dimaknai, dirinya telah sampai di langit teratas. Maka, sampainya di Makkah pun dapat diartikan, ia telah wushul, ‘tiba di hadapan Allah'.

Saat di Makkah, Ibnu ‘Arabi mimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW. Dalam mimpinya itu, ia dinobatkan sebagai pewaris Nabi Muhammad sehingga memperoleh haqiqah Muhammadiyah. Itulah sumber kewalian seseorang sejak zaman azali hingga akhir masa. Nabi SAW disebut mengamanahkan kepada dirinya untuk menyebarluaskan ajaran Sunnah yang adalah rahmat bagi seluruh semesta.

Saat di Makkah, Ibnu ‘Arabi mimpi berjumpa dengan Rasulullah SAW.

Masih di kota suci tersebut, ia berjumpa muka dengan seorang gadis cantik. Di kemudian hari, barulah diketahui bahwa perempuan tersebut adalah Nizham, putri seorang imam Masjidil Haram. Paras cantiknya membuat Ibnu ‘Arabi terinspirasi untuk menggubah kumpulan sajak, Tarjuman al-Ashwaq.

Karya itulah yang dituding sebagian kalangan sebagai teks erotis. Padahal, menurut pengarangnya, syair-syair di dalamnya murni bertujuan spiritual. Kecantikan Nizham menyadarkannya akan keindahan Tuhan pada diri wanita.

Salah satu risalah monumentalnya terinspirasi dari pengalamannya selama di Makkah: Futuhat Makiyyah (Pencerahan-pencerahan Makkah). Untuk menuntaskannya, Ibnu ‘Arabi memerlukan waktu hingga 19 tahun. Tebal naskahnya pun mencapai lebih dari 6.000 halaman.

Di sela-sela penyelesaian Futuhat, dia menulis pula beberapa kitab, semisal Hilyat al-Abdal, Taj ar-Rasa`il, Misykat al-Anwar, dan Ruh al-Quds.

Usai musim haji, Ibnu ‘Arabi setia dengan perjalanannya. Ia berkunjung dari satu kota ke kota lainnya, termasuk di Irak dan Anatolia (Turki). Dalam rihlah itu, pengikutnya kian bertambah banyak. Mereka biasa menggelar majelis untuk menyimak pembacaan kitab-kitab karya sang sufi. Ada banyak karangan yang lahir dari tangannya. Dalam kurun tahun 600-617 H saja, tercatat sebanyak 50 kitab ditulisnya.

Ada banyak karangan yang lahir dari tangannya. Dalam kurun tahun 600-617 H saja, tercatat sebanyak 50 kitab ditulisnya.

Sejak 620 H, dengan pertimbangan usia yang kian uzur, Ibnu ‘Arabi pun memutuskan untuk tinggal di Damaskus (Suriah). Di sana, dia mengajar dan membimbing para muridnya serta menghabiskan waktu dengan menulis. Begitulah kesibukannya sehari-hari hingga ia berpulang ke rahmatullah.

Hari itu, Jumat tanggal 28 Rabiul Akhir 638 H (16 November 1240 M). Ibnu ‘Arabi bermukim di rumah Qadli Muhyiddin bin az-Zanki, Damaskus. Malam itu, dirinya sedang menulis kitab tafsir Alquran, Al-Jam’u wa at-Tafsir fii Asrar Ma’ani at-Tanzil yang setebal 60 jilid. Saat sedang menelaah ayat ke-65 surah al-Kahfi, sang sufi mengembuskan napas terakhir.

Ayat itu mengisahkan awal mula perjumpaan Nabi Musa AS dengan Khidir AS untuk mempelajari ilmu laduni. Khidir itulah yang disebut oleh Allah Ta’ala dalam ayat di atas sebagai “seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.”

Sepanjang hayatnya, Ibnu ‘Arabi mengaku tiga kali ditemui oleh Nabi Khidir. Dan, dalam pelbagai tulisannya, sosok nabi itu kerap disebutnya sebagai perlambang untuk menyimbolkan basth (kelapangan) serta pemahaman akan ilmu batin dan hakikat.

Bertasawuf Menuju Al-Haq

Di sepanjang hayatnya, Ibnu ‘Arabi (560-638 H) berinteraksi dengan banyak sarjana. Itu terbaca dalam karya-karyanya yang ditaksir mencapai jumlah 560 kitab serta 2.000 tulisan “pendek". Muhammad al-Fayyadl dalam Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2012) menjelaskan, sang salik bergaul dengan siapa saja tanpa pilih-pilih.

Bagaimanapun, lanjut al-Fayyadl, terhadap kaum filsuf dan teolog Ibnu ‘Arabi tampaknya memiliki pendirian khusus yang berbeda. Ada banyak filsuf Muslim yang hidup sezaman dengannya, seperti Ibnu Rusyd atau Averroes, Ibnu Sina, al-Kindi, atau Ibnu Thufail.

Namun, dalam karya-karyanya, Ibnu ‘Arabi tidak pernah menyebut nama mereka—kecuali Ibnu Rusyd. Menurut al-Fayyadl, hal itu mengindikasikan, tokoh kelahiran Andalusia itu dalam membangun ide-ide ketuhanannya ingin menempuh jalan yang berbeda daripada paradigma para filsuf.

Terhadap para teolog pun, ia memberikan penilaian kritis. Baginya, teologi atau ilmu kalam hanya berguna untuk mempertahankan keimanan dari serangan kaum rasionalis yang mengingkari Tuhan. Lagipula, tampaknya para mutakalim memiliki keyakinan yang berlebihan terhadap kemampuan akal. Padahal, akal rasional masih tidak memadai untuk memberikan penjelasan yang mendalam mengenai-Nya.

Maka, Ibnu ‘Arabi memilih tasawuf sebagai jalan hidup sekaligus jalan pencariannya akan Tuhan. Baginya, Allah adalah misteri. Kemisteriusan-Nya tidak mungkin dijelaskan melalui pemikiran spekulatif (filsafat) atau penalaran akal (teologis).

 

Baginya, Allah adalah misteri. Kemisteriusan-Nya tidak mungkin dijelaskan melalui pemikiran spekulatif (filsafat) atau penalaran akal (teologis).

Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni bawa'its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); dawa'i (pilar pendorong ruhani jiwa); akhlak; dan hakikat-hakikat. Adapun komponen pendorongnya terdiri atas tiga hak: hak Allah; hak hamba terhadap sesama; dan hak hamba terhadap diri sendiri.

Dalam pandangannya, tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati. Alquran dipandang sebagai akhlak seorang hamba-Nya. Lalu naik ke tahap yang tak ada lagi selain Al-Haqiqah al-Wujud, yakni Allah SWT.

Ibnu ‘Arabi kerap kali dikaitkan dengan gagasan wahdatul wujud, padahal tak pernah dalam karya-karyanya istilah wahdatul wujud disebutkan. Adapun gagasan yang memang diajukannya terkait hubungan hamba dan Rabnya ialah konsep mengenai Al-Haq atau “kesatuan dari keserbameliputan” (ahadiyyah al-jam'i).

Menurutnya, perwujudan segala sesuatu adalah manifestasi dari 'aradh'Aradh pun adalah konkretisasi dari jauhar. Jauhar adalah pengejawantahan dari Tuhan.

Itulah mengapa, Ibnu ‘Arabi menghindari penyebutan bahwa Tuhan adalah Sang Pencipta (Al-Khaliq), sedangkan selain-Nya adalah ciptaan (makhluq). Sebab, kedua istilah itu tak menggambarkan ahadiyyah al-jam'i. Dia lebih menyukai terminologi Al-Haq untuk Tuhan dan al-khalq untuk selain-Nya. Dengan begitu, terasa bahwa “garis pemisah” antara Tuhan dan makhluk menjadi samar-samar.

 

0 Response to "MENGENAL LEBIH DEKAT MANAQIB SYEIKH IBNU 'ARABI, RA"

Post a Comment